cerpen



 EKSEKUSI SI JANTUNG HATI
“Mungkin hanya dalam untaian kata aku mampu bicara, yang mungkin tak lagi  seindah berseminya mighrab cinta, tak lagi seindah mentari senja yang begitu memikat mata, memberi kehangatan dalam jiwa, bah melati berbaur kenanga. Keindahan itu kini menusuk ruang jantungku. Membekas dalam bayang semu” Mungkin sepengal puisi itulah yang mampu melukiskan hatiku yang tak mampu mengungkapkan rasa.
Ini adalah pagi baruku untuk menghirup kembali udara kebebasan. Tapi nampaknya aku belum ingin beranjak dari tempat tidurku. Merpati ini merasa terlalu lelah setelah menjalani proses panjang persidangan. Berbalut kain tebal yang terasa begitu nyaman, ku sembunyikan sepasang bola mata yang lembab.
Tapi beginilah tidurnya seekor anak ayam. Meski mata terpejam, batin masih menggumam. Terdengar begitu jelas suara orang-orang yang sedang membicarakan fonis yang di jatuhkan hakim kepadaku. Mereka yang sedang bersuka ria merayakan kemenanganku. Namun bagiku itu adalah kekalahanku. Tapi bagaimana bisa?. Aku yang menjulurkan pedang itu di dadanya. Dan dengan tanganku pula, aku membunuhnya. Tapi hakim memenangkanku dalam sidang. Aneh!. Ia tak memberontak sedikitpun. Yang kulihat hanya butiran air mata yang mengalir indah. Mungkin ia hancur. Dan saat itu pulalah aku hancur berkali lipat. Aku munafik!. Aku berdusta!. Ku berikan kesaksian palsuku di atas Al- Qur’an. Tapi di hadapan semua ku kembangkan senyum manis, meski sebenarnya hatiku menjerit, menangis.
Dalam fikiranku masih teringgat kata-kata sesorang wanita yang membuat penyesalanku yang terdalam. “Sesungguhnya seperti apakah laki- laki yang engkau cari?. Jika kau mencari seorang yang sempurna itu mustahil kau dapatkan di dunia. Bahkan malaikat saja tak sempurna di hadapan-Nya. Semua orang punya kekurangan dan kelebihan. Seperti halnya Khafidh nak, maka itulah Tuhan menghadirkan pasangannya untuk saling melengkapi”. Memang benar aku dan Khafidh seperti air dan api. Aku buta agama tapi juara dalam ilmu pengetahuan, sedang Khafidh lemah ilmu pengetahuan tapi pandai agama meski ia seorang sarjana. Tapi apakah guna penyesalan itu. Aku telah membunuhnya dengan tangan kotorku.
***
Lebaran tinggal menunggu jam lagi. Aku dan Khafidh masih terbuai alunan syahdu suara lantunan takbiran dan percikan kembang api.
“Subhanallah, begitu indahnya malam ini....”
“Dan keindahan itu semakin lengkap karena ada kau di sampingku”. Balasan suaranya begitu membuat hatiku tersipu malu. Dan sekejap ku mendaratkan ciuman di pipinya dan memeluk erat ia seakan aku tak ingin waktu merampas ia dariku. Khafidh pun membalas kecupan manis di keningku yang melengkapi sempurnanya malam ini. Karena ini kali pertama kami to the point akan hubungan kami.
Pagi ini adalah lebaran pertamaku bersama khafidh sebagai sosok yang baru. Seusai shalat ied kami berkumpul di meja makan. Segala hidangan lebaran telah tertata rapi di meja makan. Ketupat, opor, rendang, sambal goreng, semuanya begitu menggugah cacing- cacing perutku tuk mengeliat. Kue-kue kering khas lebaran juga telah tertata rapi di ruang tengah rumah kami. Sedikit canda tawa menjadi bumbu-bumbu pemanis jamuan makan kami.
Tibalah pada acara puncak dari lebaran. Kedua orang tua Khafidh yang sering ku panggil “papah dan mamah” duduk di sofa ruang tengah menanti kami. Khafidh menjadi orang pertama yang melakukanya. Kemudian ku ikuti bersama adik-adiknya.
Inilah sosok Khafidh yang ku cintai. Ketika ku berlutut di hadapanya, memegang tangannya dan mendaratkan ciuman tipis seraya meminta maaf. Ia membalas dengan kecupan mesra di keningku hingga membuatku malu. Namun membuat lebaranku begitu sempurna.
Ada kecanggungan terlihat ketika Yudha menjabat tanganku. Mungkin seharusnya aku yang memulai, bukan ia. Yudha adik pertama Khafidh sebenarnya lebih tua dari pada aku. Dan Ulfa malahan seusia denganku. Tapi mereka memanggilku “kakak”. Aneh!.
Tapi ku rasa Khafidh tak begitu akrab dengan kedua adiknya. Mengapa bisa?. Bagiku adikku Nayla justru lebih dekat dengan ia. Bisa di bilang meraka satu visi dan misi perihal menggodaku. “Huft, kacau dua lawan satu...”. Tapi tak hanya visi dan misi, Khafidh dan Nayla sama kompaknya dalam urusan makan.
Sayangnya semua keindahan ini tak berlangsung lama. Setelah aku dan khafidh meminta maaf kepada kedua orang tua Khafidh. Kami ziarah ke makam nenek Khafidh. “Bunga bertaburan, do’a- do’a berlantunan. Tapi hanya sekedar pelengkap ritual. Padahal kami tiap hari menunggumu, meski sekedar kau ijakan kaki kerumahku”. Mungkin para orang-orang yang telah mendahului kami akan berbicara seperti itu.
Kami mengunjungi orang tertua dalam keluarga besarku setelah ke orang tuaku. Ku perkenalkan Khafidh kepada sanak saudaraku yang saat itu sedang berkumpul. Entah ini sindiran tajam atau sekedar candaan. Tapi kami hanyut dalam ketegangan.
“Mas kamu cowok kan?” tanya omku.  
“iya lah Mas..?” balasnya Khafidh sambil tersenyum.
“Tek cwok ya jangan mukul cwek ra, aku ini kumpulane sabuk ireng, tapi aku gak pernah mukul cwek apalagi istri”.
Kami terkejut mendengar itu. Mungkin aku bisa memaklumi kata-kata Omku. Om mana yang tak sakit hati keponakannya di lukai.
Fikirankupun kembali cemas. Ku lihat pancaran mata Khafidh begitu penuh emosi. Begitu pula dengan Omku. Akhirnya pertikaianpun tak terelakan. Mereka masih sibuk bersitegang. Sedang aku hanya bisa menanggis. Beruntung ibuku mengajak Khafidh pulang kerumah dan membuat suasana sedikit meredam.
Mungkin ia ketakutan?. Hingga ia membawaku kembali kerumahnya. Ku coba untuk mengerti suasana hatinya. Yang sedari tadi masih sibuk menggumam dalam perjalanan pulang.
Khafidh memutuskan mengantarku pulang kembali ke rumahku setelah mengambil semua baju dan barang-barangku di rumahnya. Dan tak kusadari itu terakhir kalinya aku menginjakkan kaki dirumahnya. Kini ia meninggalkanku dalam kesendirian dan menenggelamkanku dalam lautan air mata. Ku berlari menuju kamar. Tanpa ku hiraukan segala tanya yang menghujamku. “No comment”. Dan ku terlelap dalam kesunyian.
Hingga tiba di suatu malam ketika mamah Khafidh berkunjung kerumah kami bersamanya untuk silaturahmi lebaran dan menengok ayahku yang sakit. Hanya sekedar itu lantas merekapun pulang dan menyisahkan tanya bagiku sekaligus kerinduan.
***
Siang ini begitu melelahkan. Tugas sekolah menjadi tumpukan yang membayangi pikiran. Bagaimana tak menumpuk? Jika aku masih sibuk membasahi bumi. Sekarang aku bertanya, bagaimana tidak?. Dengan mata kepalaku sendiri ku lihat Khafidh begitu mesra dengan mantan pacarnya. Dan semenjak saat itu ku tutup telingaku atas segala penjelasan.
Handphone yang sedari tadi berdering tak sedikitpun ku hiraukan. “ Why?. Don’t you take me as yours? But, why you keep a relationship with her?.” Berontaku dalam hati.
“Anggun.. ana kancamu moro”. Perkataan ibuku membangunkanku dari lamunan. Tak sepenuhnya nyawaku telah berkumpul kedalam ragaku. Ku berjalan tanpa arah dan tujuan.
Aku tertegun. Melihat ia berdiri di depan pintu. Tanpa banyak bicara ku tutup kembali pintu. Ia tak kunjung pergi. Ia menantiku tuk mendengar penjelasanya.
Sesaat ku tersadar. Jika ayahku tau ia datang. Maka aku harus bersiap mengumpulkan senjata dan sekutu. Perang dunia ke-3 pasti tak terelakkan. Ku cepat-cepat membuka pintu dan memasang wajah cemberut.
Ia menyodorkanku sebuah boneka dan kalung yang telah ku buang di pekarangan rumahnya. Aku tak menyangka ia mencarinya di sela-sela kesibukanya. Dan memberanikan diri masuk kandang harimau. Ku akui kejantanannya.
***
Semakin hari hubunganku dengan Khafidh semakin renggang. Bahkan kami tidak pernah berkomunikasi. Bagaimana kami mau berkomunikasi jika handphoneku di sita olehnya. Ia merasa cemburu melihat aku berhubungan dengan teman-temanku SMA. Dan sempat ia menuduhku berselingkuh dengan teman sekelasku sewaktu SMA yang bernama Abdullah.
“Ku coba mencari celah tuk kita bersua, meski itu hanya ada di ujung dunia, ku coba mencari jiwa yang tenang, meski harus di keabadian”. Inilah gambaran pikiranku saat ini yang telah mencapi puncak terlelah. Menantinya yang tak pernah kunjung datang. Seperti yang ia lakukan dulu.
Berbulan-bulan lamanya ia tak nampakan batang hidung. Pikirankupun tak mau beranjak dari sosoknya. Segala aktivitas ku coba jalani untuk mengusir bayangannya.
“Aku lelah..”. Itulah kata terakhirku sebelum aku menutup mata. Fonis dokter bah halilintar menyambar bagi keluarga besarku. Harapan hidupku hanya 50%.  Derai air mata menghujani dunia dengan seketika. Orang tuaku meminta dokter berusaha menyelamatkanku. Aku bertaruh dengan waktu. Segala peralatan operasi mengoreskan luka di tubuhku.
Tak berselang lama aku kembali membuka mata melihat dunia. Dan ku dapatkan kekasihku terbaring kaku di sampingku. “Tiada kata yang tak musnah kala kita berpisah, air mata, jerit, tangis, tak mampu membangunkanya”. Kekasihku mengorbankan nyawanya untukku. Bahkan langitpun menangis seiring kepergianya. Lebih menyakitkan dari alat- alat tajam yang menyentuh tubuhku.
Aku masih memberontak. Dalam derai air mata ku memohon kepada tuhan. “Biar nyawaku yang menjadi gantinya. Terlalu banyak noda yang telah aku teteskan.  Beri ia kesempatan melihat dunia ini tuhan..”. Kata terakhirku sebelum dokter menyuntikkan obat penenang.
Dari semua orang yang datang. Sekedar menengok atau mengucapkan bela sungkawa. Tak kutemukan sosoknya. Bahkan yang datang hanya mamahnya. Tak ada keluarga besarnya.
 Sesungguhnya ku ingginkan ia di sampingku. Menghapus air mataku dan memeluk erat tubuhku. Tapi ku tolak kunjunganya. Aku tak inggin bersitegang dengan ia di saat seperti ini. Tubuhku sudah cukup lemas. Bahkan sempat ku coba mengakhiri hidupku. Namun ku teringgat bahwa tuhan telah memberiku kesempatan kedua untuk hidup.
***
Semenjak masalah itu tidak ada satupun dari keluarganya yang datang kerumah. Mungkin malu atau sudah sama- sama lelah. Tak seperti dulu, kini ia membiarkan masalah- masalah kian berlarut dan mencapai puncaknya.
“Kue kudu milih nok?”. Kata- kata itu membuatku dalam dilema sesaat. Sejujurnya diam- diam aku masih menghubunginya. Mencoba mencari jalan keluar bersama. Tapi tak kunjung solusinya. Justru ku dapatkan fakta kedua orang tuanya tak lagi setuju ia kembali bersamaku.
Aku adalah noda dalam keluarganya. Tak berati apa- apa. Mungkin jika ia yang tak diakui ia masih punya kehormatan karena ia kepala keluarga. Tapi jika aku, bukankah hinanya diriku sebagai seorang wanita?.
“Wanita tercipta dari tulang rusuk seorang pria. Begitu dekat dengan lenganmu sehingga engaku berkwajiban melindunginya. Ia bukan dari tulang kepalamu lalu kau jadikan atasan. Bukan pula dari tulang kaki yang bisa kau injak. Sementara wanita adalah tulang rusuk yang bengkok. Jangan sekali- kali kau coba meluruskan karena ia akan patah. Maka bersenenang- senanglah denganya meski ia membawa sifat kebengkokan itu”
Tanpa fikir panjang aku maju dalam medan peperangan. Ku akhiri dilemaku yang berkepanjangan. Ku jawab semua ketidak pastian.
Beberapa hari sebelum aku maju dalam medan perang, seseorang mengajariku “Jika kamu telah memutuskan untuk maju kemedan perang, jangan pernah sekali kamu mundur Anggun. Kamu hanya punya dua pilahan. Di bunuh atau membunuh?. Dan ketika kau tak membunuh. Orang tuamu yang mati.”
By. Noor Siti Khoiriyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah pengertian membaca dan menulis serta pembelajaranya

Makalah Langkah-langkah Pembelajaran Apresiasi Drama

Bahasa Minangkabau