Ulasan Teater

Oleh.
Noor Siti Khoriyah kelas 5A (13410033)
Pendidikan
Bahasa Inonesia
Universitas
PGRI Semarang
“Dan mungkin
yang kekal di dunia ini selain tuhan adalah kenangan”,
itulah sepengal kata yang diucapkan oleh Ibrahim selaku presenter dan moderator
ketika malam pertunjukan teater tikar Kamis,
08 Oktober 2015 di Gedung Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang.
Mungkin
kita akan bertanya-tanya ketika memasuki ruang pertunjukan teater malam itu.
Meski pada awalnya, semua terlihat sederhana. Barangkali karena untuk kali
pertama kita melihat pertunjukan teater bukan disebuah pangung dan setting
tempat yang begitu terstruktur, sehingga setidaknya kita mampu menebak alur ceritanya.
Tapi ketika kita melihat pertunjukan teater Tikar malam itu, kita akan mulai
bertanya-tanya akan segala hal yang mata kita tangkap saat itu juga.
Pertanyaan
pertama yang akan muncul di benak kita adalah kenapa para pemain sudah berada
dipangung ketika presenter sedang berbicara?. Mereka membuat sebuah gerakan
yang membuat penonton jauh lebih terfokus melihat mereka dibandingkan dengan
isi pembicaraan yang disampaikan oleh seorang Ibrahim. Bukankah setiap kali
kita menyaksikan sebuah pertunjukan teater para penonton akan baru kita lihat
ketika pementasan dimulai?.
Belum
juga pertanyaan tersebut terjawab, penonton sudah dibuat bertanya-tanya akan
setting tempat yang sebegitu abstraknya dalam pikiran. Benang-benang yang
dibuat bergelantungan dan berserakan di dinding seolah-olah jaring laba-laba.
Beberapa plastik yang disusun secara vertikal dengan beberapa orang pemain yang
bersembunyi dibelakangnya ternyata dibaratkan sebuah figura. Dan kostum para
pemain yang menggunakan jubah yang pada mulanya kita akan mengira bahwa mereka
sosok setan ternyata adalah debu.
Alur
campuran yang diciptakan Iruka dengan menciptakan kombinasi dua dimensi yang
berbeda ternyata menciptakan sebuah harmonisasi yang menajubkan. Hadirnya
kenangan di masa sekarang dan di masa lalu akan membuat mata kita tiada
hentinya bergerak menerka kedua dimensi tersebut. Dialog dari kedua dimensi
yang ternyata berbeda tampak seakan sedang bertanya jawab dan saling
keterkaitan tapi ternyata tidak.
Dalam
kolaborasi antara dua dimensi tersebut hal yang sangat berpengauh dalam
menciptakan kolaborasi adalah adanya lighting. Bagaimana terang redupnya cahaya
ketika pementasan berlangsung. Ketika masa lalu dan masa depan sama-sama
ditampilkan ada sebuah cahaya yang terang yang menandakan bahwa masa itulah
yang lebih ingin difokuskan untuk dilihat seorang penonton dan masa yang lain
dengan cahaya yang redup untuk menghindari kebingungan penonton dalam
menyaksikan.
Selain
itu, dalam cerita Iruka, kami anggap berani dengan menampilkan sebuah cerita
dalam masa lalu, dimana seorang anak lelaki tengah bermain dengan teman-temanya
menggunakan permainan pada zaman dahulu yaitu lompat tali dan cublak-cublak
suwung. Padahal sebagian para penulis sekarang lebih tertarik mengangkat cerita
perminan anak pada zaman sekarang
Hadirnya
eksplorasi gerak tarian para pemain yang sangat gemulai dan lincah, menurut
kami adalah suatu gebrakan terbaru dalam dunia teater. Biasanya sebuah
eksplorasi gerak tarian akan menjadi sebuah selingan dalam suatu pertunjukan.
Tapi tidak untuk “Mengancam Kenangan”
karya Iruka ini. Eksplorasi gerak pemain yang gemulai dan lincah diiringi
sebuah dialog membuat penonton terpana. Tak hanya sebatas terpana, beberapa
saat kami akan menjerit tak kala adegan seorang pria yang diinjak oleh seorang
wanita. Atau seorang wanita yang menari sekalipun tubuhnya miring hinga 450.
Dan
hal menajubkan yang lain adalah bagaimana ketika pemain mampu memerankan tokoh
yang mereka bawakan dengan sempurna dan penuh pengahayatan meski tak jarang
mereka juga memerankan tokoh ganda. Misalnya Imam Machfudz yang tak hanya
memerankan tokoh ayah tetapi tokoh anak dalam cerita tersebut.
Satu
diantara semua hal yang membuat penonton bertanya-tanya dan kagum adalah
pemilihan kata yang digunakan Iruka dalam dialog antar tokoh. Bahasa yang
banyak menggunakan pemilihan kata perumpamaan seperti “Ayah dengan sayap emasnya”, atau “Biarkan saja rindu ini menggunung, lalu kau dapat mendakinya hingga
awan dan meneteskan hujan keresahan”. Selain itu tak jarang pemilihan kata
dalam dialog tersebut seolah-olah seperti sebuah puisi. Karena itulah penonton
dalam pertunjukkan tersebut tidak hanya sedang menyaksikan, menikamati sebuah
pertunjukan belaka, akan tetapi berfikir akan makna dari tiap dialog atau
ucapan yang keluar dari mulut para pemain.
Semarang, 12 Oktober 2015
Komentar
Posting Komentar