Ulasan Wayang Kampung Sebelah "Mawas Diri Menangkar Berani"
PEWAYANGAN
POLITIK NEGERI TERCINTA
Oleh. Noor Siti
Khoriyah kelas 5A (13410033)
Pendidikan
Bahasa Inonesia
Universitas PGRI
Semarang
Sinopsis
Babak Pemilu
Eyang Sidik Wacono memimpin
penghitungan suara pilkades. Mendadak papan tulis untuk mencatat penghitungan
suara hilang. Parjo selaku kepala keamanan ditanya tidak tahu. Begitu pun
Sodrun ketika ditanya malah salah persepsi merasa dituding sebagai biang hilangnya
papan tulis. Usut punya usut, papan tulis itu ternyata disimpan kembali oleh
Suto Coro sebagai kepala rumah tangga kelurahan.
Parjo memberikan hasil penghitungan
suara yang sudah dilakukan saat Eyang Sidik Wacono sibuk berurusan dengan papan
tulis. Eyang Sidik lantas membacakan hasil penghitungan suara yang menempatkan
Somad sebagai pemenang pilkades. Somad diminta menandatangani berita acara
penetapan pemenang, sambil secara tersamar Mbah Sidik meminta bonus upaya
pemenangan kepada Somad. Parjo mempertanyakan posisi Mbah Sidik yang sebagai
panitia ternyata diam-diam berafiliasi kepada salah satu kontestan. Jika
ketahuan orang maka niscaya akan menuai masalah. Eyang Sidik sudah siap dengan
resiko itu, siapa pun yang memprotes tindakannya akan dilabraknya.
Babak Rencana Protes
Pak Klungsur, salah satu kontestan kades yang kalah,
mengumpulkan tim sukses: Mbah Modin selaku ketua tim sukses, Bu RT selaku
bendahara, Parjo selaku sekretaris, Jhony selaku penggerak massa, serta
sejumlah massa. Pada pertemuan itu Pak Klungsur tak henti jatuh pingsan karena
tak kuat menahan tekanan batin atas kekalahannya. Ia sama sekali tidak rela
menerima kekalahan. Betapa banyak biaya yang sudah ia keluarkan mengikuti
pilkades. Ia ingin hasil pilkades yang memenangkan Somad digagalkan. Tim
suksesnya diminta menyoal dan memprovokasi massa dengan isu bahwa kemenangan
Somad tidak sah karena penuh kecurangan. Pemenang pilkades itu telah bekerja
sama dengan perangkat desa, melanggar asas netralitas aparat pemerintahan desa,
mencederai asas keadilan. Somad juga melakukan black campaign atas dirinya.
Selain itu tindakan money politik, salah satunya dalam bentuk tindakan serangan
fajar luar biasa besar.
Babak Rerasan
Kampret bertandang ke rumah Karyo mengajak ngobrol
tentang sukses pilkades dengan pemenang Pak Somad. Karyo menanggapi dingin.
Gegap gempitanya pesta demokrasi pilkades dia yakini tak mengubah apa-apa.
Demokrasi di desa Bangunjiwo adalah wajah demokrasi negara ini. Hasilnya, Karyo
tetap saja melarat. Pendidikan dan kesehatan tetap saja mahal. Korupsi makin
merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Hutang negara bukan
berkurang malah makin membengkak.
Untuk jeda dari kepenatan beban pikir, Kampret
mengajak Karyo menyaksikan panggung hiburan dalam rangka tasyakuran kemenangan
Somad sebagai lurah baru Desa Bangunjiwo.
Babak Kerusuhan
Sederetan artis berkiprah di atas
panggung menghibur penonton yang memadati acara tasyakuran Lurah Somad.
Tiba-tiba Jhony naik ke atas panggung. Ia berorasi mengecam dan memprotes
kemenangan Lurah Somad yang dianggap penuh kecurangan.
Kampret yang mabuk merasa terusik
kesenangannya atas ulah Jhony. Ia segera naik ke atas panggung meminta Jhony
berhenti ngoceh, agar kemudian hiburan dangdut dilanjutkan. Jhony marah
menuding Kampret sebagai pendukung Somad yang tidak terima atas protesnya. Ia
pun menantang Kampret berkelahi. Tapi pemuda sang pemabuk itu menanggapi dengan
senyum sinis
Jhony yang merasa terdesak dalam
perdebatan itu langsung menyerang Kampret. Perkelahian keduanya memicu tawur
massa.
Babak Mawas Diri
Karyo mendatangi Pak Gendut seorang anggota polisi,
Mbah Modin, Pak Somad, dan Parjo, para tokoh masyarakat yang tengah berada di
lokasi kerusuhan memantau situasi. Karyo langsung nyemprot para tokoh itu yang
tidak bergerak apa-apa bahkan seakan menikmati kerusuhan yang sedang terjadi.
Pak Gendut didesak supaya segera bergerak meredam kerusuhan.
Namun pak Gendut berkilah bahwa tidak semudah itu
menghentikan kekerasan mustahil tanpa cara tegas dan keras. Bukan sekedar
berpidato aau memohon. Akan tetapi jika menggunakan cara tegas dan keras,
polisi harus berhadapan dengan pasal-pasal HAM. Polisi akan dihujat dan
disalahkan oleh siapa saja karena menggunakan kekerasan. Polisi bergerak salah,
tidak bergerak juga salah.
Karyo bingung. Ia mendesak pak Somad sebagai lurah
yang baru harus bisa mengendalikan situasi. Pak Somad pun berkilah, karena ia
pejabat baru maka belum menguasai medan. Ia perlu mempelajari situasi dan
kondisi terlebuh dahulu, berkoordinasi, baru bisa menentukan tindakan yang
harus diambil.
Karyo lantas bepaling ke Mbah Modin, sesepuh agama
desa Bangunjiwo itu diminta meredam kerusuhan. Sebab sebagian yang bergerak
memicu huru-hara itu orang-orangnya Mbah Modin.
Mbah Modin berkilah, bahwa itu aspirasi mereka umat
yang ingin menegakkan kebenaran. Jadi ia tidak bisa menyetir umatnya yang bergerak
karena mereka mengikuti kata hati membela kebenaran.
Terakhir Karyo berpaling kepada Parjo yang anggota
TNI, agar ambil inisiatif bergerak meredam kerusuhan. Parjo berkilah, bukan
ranah tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenangnya ada di wilayah pertahanan
dan keamanan negara. Urusan kamtibmas adalah job desknya kepolisian. TNI hanya
punya wewenang memback up, artinya ia bergerak membantu polisi kalau ada
permintaan dari pihak kepolisian. Jika bergerak sendiri, TNI akan menyalahi
prosedur dan tentu akan dipersalahkan oleh semua orang.
Karyo sudah benar-benar tak habis pikir. Di kerusuhan
itu, rakyat saling berbenturan. Setiap saat nyawa mereka bisa melayang tanpa
mau menunggu keputusan rapat-perdebatan prosedur hukum.
Kampret yang tiba-tiba muncul di perbincangan. Ia
mengatakan bahwa Pak Somad, Mbah Modin, Pak Gendut dan Mas Parjo itu
orang-orang yang cari selamat kok disuruh menyelamatkan orang.
Yang benar, mungkin bangsa ini sedang nyenyak
bermimpi. Bermimpi berdemokrasi, bermimpi bernegara, bermimpi menjadi bangsa
besar Saatnya bangsa ini sadar. Kesadaran akan muncul ketika kita mau mawas
diri.
Negeri dalam Pewayangan
Jika
kita menyaksikan pementasan wayang Kampung Sebelah dengan dalang Ki Slideng
Suparman dengan tema “Mawas Diri Menangkar Berani”, maka seperti itulah realita
pewayanagan di negeri kita tercinta.
Pertandingan
politik kita tak ubahnya sebuah cerita wayang belaka. Dimana mereka tampil
hanya sebagai wahana hiburan dan bahan perbincangan dalam sebuah masyarakat.
Mereka tampil di depan publik bah tokoh pewayangan. Riuh tepuk tangan dibalik
segala cibiran-cibiran masyarakat. Dikagumi, disanjung, dihormati, atau bahkan
hanya sebagai bahan tontonan atau cibiran.
Pementasan
wayang kampung sebelah memang diakui sangat menghibur penonton dengan
sentilan-sentilan komedi. Barangkali ini adalah salah satu diantara sekian
banyak pementasan wayang yang tak menina bobokkan penontonya, akan tetapi
mengocok perut penonton.
Tak
hanya itu saja, pementasan tersebut juga mampu menghipnotis penonton dengan
tampil sederhana namun berkesan melalui kritik ataupun amanat baik secara
tersirat maupun tersurat.
Jika
kita mengganggap bahwa kritik tersebut hanya tertuju pada pemerintah. Maka saya
rasa anggapan tersebut salah. Jika kita cermati secara detail maka kritik
tersebut tertuju kepada semua masyarakat indonesia terutama yang menyaksikanya.
Kita kembalikan semuanya kepada hakikat demokrasi yang sebenarnya, bahwa semua
serasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dari
hakikat tersebut maka kita tarik sebuah garis lurus. Bahwa disini bukan
pemerintah yang berkuasa dan memegang peranan penting dalam menentukan nasib
bangsanya tersebut. Akan tetapi rakyat, rakyat yang kritis, aktiv dan kreatif. Karena
dari rakyat yang kritis ia mampu respon
dan berfikir tajam terhadap segala tindakan maupun kebijakan yang pemerintah
keluarkan. Selanjutnya dari rakyat yang aktiv akan melahirkan sebuah
kemandirian. Jika pemerintah diangap salah dalam menggunakan hak serta
kewajibanya maka rakyat harus mampu merespon dan turun tanggan mengambil alih
kekuasaan. Dan yang terakhir dar rakyat yang kreatif akan melahirkan sebuah
perubahan-perubahan dalam menghadapi tantangan.
Namun
realitanya sekarang masyarakat Indonesia kita tak seperti dahulu, di mana
masyarakat menjadi pemegang peranan penting dalam usaha kemerdekaan, orde lama
saat masyarakat sangat menolak penyataan Soekarno yang menyatakan sebagai
presiden seumur hidup, dan orde baru ketika Soeharto diangap merugikan
masyarakat. Masyarakat saat itu lebih kritis, aktiv, dan kreatif dibandingkan
masyarakat sekang yang jauh lebih pasif dan konsumtif (pasrah) terhadap
kebijakan pemerintah.
Kenyataan
lain juga digambarkan bagaimana masyarakat sekarang mengesampingkan mengenai
nilai-nilai dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Sehingga seharusnya
masyarakat mampu memilah calon pemimpin yang baik namun karena adanya
kepentingan pribadi bisa jadi pemimpin yang mereka pilih justru yang salah.
Oleh
karena itu kita harus mulai mawas diri agar bisa melihat secara objektif negara
kita. Supaya kita dapat mengetahui dan melaksanakan hakikat daripada demokrasi
itu sediri.
Di
balik segala kemenajubkanya pementasan wayang kampung sebelah saat itu, masih
terbesit beberapa kritik. Mulai dari banyaknya sentilan komedi padahal temanya
“Mawas Diri Menangkar Berani”. Kemudiaan kurang mampunya seorang Ki Slideng
Suparman dalam warna vokal perempuan.
Namun
dibalik itu semua. Hal menarik yang dapat kita petik adalah pementasan wayang
kampung sebelah dengan dalang Ki Slideng Semarang mampu menarik minat mahasiswa
dalam menonton wayang. Karena selama ini wayang dimata mahasiswa adalah sesuatu
yang membosankan dan monoton. Sesuatu yang mampu menina bobokkan penonton pula.
Komentar
Posting Komentar