Korelasi Bahasa dan Pikiran
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bahasa adalah medium tanpa batas
yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia.
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan
objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya
transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai sebuah objek, meskipun
objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya.
Manusia berkedudukan sebagai animal
symbolicum, makhluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini
lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Keunikan manusia sebenarnya bukanlah
sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada
kemampuannnya berbahasa. Manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa
menggunakan bahasa dan batas dunia manusia adalah bahasa mereka. Sebuah uraian
yang cukup menarik mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikir dinyatakan oleh
Whorf dan Saphir. Whorf dan Sapir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh
sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Menurut
hipotesis ini, dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang
Inggris karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
Manusia berbeda dengan
binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Jika manusia itu bertindak, ia tahu
bahwa ia bertindak dan apabila ia berpikir maka iapun tahu bahwa dirinya itu
berpikir. Karena itulah maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir
atau homo-sapiens atau juga animal-rationale. Manusia mempunyai
kesadaran dan kesanggupan berpikir, sehingga berpikir dapat dianggap sebagai
sifat manusia yang terpenting. Selanjutnya kalau berpikir itu dianggap sebagai
sifat manusia yang terpenting, maka filsafat harus dianggap sebagai perbuatan
yang paling radikal dalam menggunakan kesanggupan berpikir itu. Karena
berfilsafat berarti berpikir secara radikal yaitu suatu usaha mencapai radix
atau akar kenyataan yang sebenarnya.Semuanya itu sangat penting apabila
diperhatikan, diselidiki dan dianalisis dengan tujuan supaya dapat diketahui
mekanismenya dan dapat dikuasai. Untuk berpikir dengan baik, semuanya itu
ditonjolkan untuk dipandang, diselidiki dan dirumuskan bentuk-bentuk dan
hukum-hukumnya sehingga dapat dikuasai dan dipakai secara sadar dan kritis.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari,
kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, dengan
bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide kita. Apakah bahasa merupakan
satu-satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak terasa kita memang menganut
paham tersebut, yang setuju bahwa “bahasa adalah alat yang digunakan oleh
manusia untuk berkomunikasi”. Dan memang itu benar adanya. Gadamer pernah
mengatakan bahwa “Ada (sein) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hanya sejauh
“terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti Gadamer berpendapat bahwa
manusia hanya dapat memahami realitas sepanjang realitas itu terbahasakan.
Dengan kata lain, yang disebut dengan realitas adalah hal-hal yang dapat
dibahasakan. Sayangnya, sampai saat ini, sangat sulit kita temukan
pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi antara bahasa dan
pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan realitas,
sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi ide-ide.
Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas, yang
‘mengantarakan’ ide dan pikiran.
Kita bisa melihat jelas seseorang
yang pikirannya kacau mengakibatkan bahasanya kacau juga. Kadang juga jika
seseorang sedang memikirkan sesuatu yang berat, yang bersangkutan tidak
berselera untuk bicara. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa merupakan
cerminan dari pikiran, apa yang dibicarakan adalah apa yang dipikirkan. Bahasa
terbentuk dari pikiran, atau bentuk bahasa (secara individual dan spontan)
meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide. Akan tetapi jika kita mau lebih
jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah “wujud” dari ide atau pikiran
saja. Sehingga analisa bahasa dengan melepaskannya dari analisa ide adalah
kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada bahasa tanpa ada ide, begitu pula
sebaliknya.
Bukankah pula seseorang yang gugup
tidak mampu bicara benar, yang artinya ada juga hubungan antara emosi dengan
bahasa. Inilah yang penting untuk dibahas. Hubungan bahasa dengan sosial
(Sosiolinguistik), hubungan bahasa dengan emosi (Psikolinguistik). Namun
hubungan bahasa dan ide (Ideolinguistik) tidak semudah mengatakan sebagaimana
yang dikatakan di atas, bahwa yang nyata adalah yang terbahasakan, bahasa
merupakan cermin ide.
Ide berasal dari kata Yunani Eidos
yang berarti tangkapan. Istilah ini sudah sangat populer di zaman Homeros,
Empedokles, Demokritos, terutama di zaman Plato. Ide atau Eidos ini dapat
berarti “yang terlihat”, “yang nampak” atau lebih komplitnya “yang terinderai”.
Sehingga secara sederhana, ide dapat diartikan sebagai apa yang menjadi
tangkapan indera manusia.
Oleh karena itulah maka penulis
melakukan mini research mengenai
hubungan bahasa dengan pikiran manusia yang bertujuan mengetahui keterkaitan
antara keduanya dalam realitas kehidupan manusia dalam peristiwa komunikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa
Inggris pscychology. Kata pscychology berasal
dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang
berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu.
Jadi, secara etimologi psikologi adalah ilmu jiwa.
Secara
umum linguistik lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil
bahasa sebagai objek kajiannya (Chaer, 2009:3).
Menurut Simanjuntak (dalam Leo dan
Syamsul Sodiq, 2000:13) psikolingusitik merupakan ilmu yang menguraikan
proses-proses psikologis yang terjadi apabila seseorang menghasilkan kalimat
dan memahami kalimat yang didengarnya waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan berbahasa itu diperoleh manusia.
Aitchison (dalam Dardjowidjojo,
2003:7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan mind.
Sedangkan, Harley (Dardjowidjojo,2003: 7) berpendapat bahwa
psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian
bahasa.
Menurut Slobin (dalam Chaer, 2009:5)
mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi
yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya
pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia.
Secara lebih rinci Chaer (2009:6) berpendapat bahwa psikolinguistik
mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu
diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami
kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan
berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang
terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau
memahami ujaran.
B. Hakikat Bahasa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahasa artinya system lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para
anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Menurut Chaer (2009:31) bahasa adalah alat interaksi atau alat komunikasi
di dalam masyarakat.
Bahasa juga diartikan sebagai
rangkain bunyi yang mempunyai makna terrtentu. Rangkain bunyi yang kita kenal
sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Kumpulan lambang bunyi, dalam
pemikirannya, tidak terlepas dari yang satu dengan yang lainnya. Kata-kata itu
dipergunakan dalam suatu sistem yang terpola. Walaupun bunyi-bunyi bahasa itu
di gunakan sudah benar dan sesuai dengan konvensi (kesepakatan pengguna
bahasa), tetapi bila hubungan antar kata-katanya itu tidak berpola, maka proses
komunikasi tidak akan berjalan dengan baik.
Bahasa adalah media manusia berpikir
secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan ke dalam
simbol-simbol abstrak. Dengan adanya bahasa kita dapat memikirkan sesuatu
meskipun objek yang kita pikirkan itu tidak berada di dekat kita. Dengan
simbol-simbol bahasa yang abstrak, kita dapat memikirkan sesuatu secara
terus-menerus dan kemudian mewariskan pengalamannya itu kepada
generasi-generasi berikutnya. Kita dapat pula mengkomunikasikan sesuatu yang
kita pikirkan dan dapat pula belajar sesuatu dari orang lain.
Bahasa adalah medium tanpa batas
yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia.
Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan kita memahami bentuk-bentuk
pemahaman manusia.
Menurut E. Sapir (dalam Mulyadi,
2009:1) bahasa adalah “A purely human and non-instinctive method of
communicating ideas, emotions, and desires, by means of a system of voluntarily
produced symbols.” Dalam batasan tersebut ada lima butir terpenting yaitu bahwa
bahasa itu:
a.
Manusiawi
Hanya manusialah yang memiliki
sistem simbol untuk berkomunikasi. Betul bahwa hewan seperti binatang pun
berkomunikasi, dan mempunyai sistem bunyi, tetapi sistem itu bukanlah
kata-kata. Dengan demikian mereka tidak memiliki bahasa. Manusia telah
berbahasa sejak dini sejarahnya, dan perkembangan bahasanya inilah yang
membedakan manusia dari makhluk lain; hingga membuat dirinya mampu berpikir.
b.
Dipelajari
Manusia ketika lahir tidak langsung lalu mampu berbicara. anak yang tidak
mempunyai kontak dengan orang lain yang berbahasa seperti dirinya sendiri akan
mengembangkan bahasanya sendiri untuk memenuhi hasrat komunikasinya. Namun
bahasa tidaklah ada artinya bila hanya untuk diri sendiri. Paling tidak
haruslah ada dua orang, supaya ada proses komunikasi. Betul bahwa seseorang
bisa berkomunikasi pada dirinya, namun untuk komunikasi seperti ini tidak perlu
kata-kata.
c.
Sistem
Bahasa memiliki seperangkat aturan
yang dikenal para penuturnya. Perangkat inilah yang menentukan struktur apa
yang diucapkannya. Struktur ini disebut grammar. Bagaimanapun primitifnya suatu
masyarakat penutur bahasa, bahasanya itu sendiri bekerja menurut seperangkat
aturan yang teratur. Kenyataan bahwa bahasa sebagai sistem adalah persoalan
pemakaian (usage); bukan ditentukan oleh panitia atau lembaga perumus. Aturan
ini dibuat dan diubah oleh cara orang-orang yang menggunakannya. Aturan ini ada
karena para penuturnya menggunakan bahasa dalam cara tertentu dan tidak dalam
cara lain. Dan karena ada kesepakatan umum tentang aturan ini maka orang
menggunakan bahasa dalam cara tertentu yang memiliki arti. Dikarenakan ada
kesepakatan inilah maka kita bisa mempelajari dan mangajarkan bahasa apa saja.
d.
Arbitrer.
Bahwa bahasa mempergunakan
bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara tertentu pula adalah secara
kebetulan saja. Orang-orang melambangkan satu kata saja untuk melambangkan satu
benda, misalnya kata kuda ditujukan hanyalah untuk binatang berkaki empat
tertentu karena orang lain berbuat demikian. Demikian pula kalimat berbeda dari
satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata kerja cenderung
menempati posisi akhir, dalam bahasa Perancis kata sifat diletakkan setelah
kata benda seperti halnya bahasa Indonesia. Ini adalah semua karena kebetulan
saja.
e.
Simbolik
Bahasa terdiri atas rentetan simbol
arbitrer yang memiliki arti. Kita bisa menggunakan simbol-simbol ini untuk
berkomunikasi sesama manusia karena manusia sama-sama memiliki perasaan,
gagasan, dan keinginan. Dengan demikian kita menerjemahkan orang lain atas
acuan pada pengalaman diri sendiri. Kalau kita mengerti ujaran orang yang
berkata, “Saya lapar”, ini karena kita pun biasa mengalami peristiwa lapar itu.
Sistem bahasa apapun memungkinkan
kita membicarakan sesuatu walau tidak ada di lingkungan kita. Kita pun bisa
membicarakan sesuatu peristiwa yang sudah terjadi atau yang akan terjadi. Ini
dimungkinkan karena bahasa memiliki daya simbolik, untuk membicarakan konsep
apapun juga. Ini pulalah yang memungkinkan manusia memiliki daya penalaran
(reasoning).
Demikianlah lima butir hakikat
bahasa manusia sebagai alat untuk berkomunikasi dan mencirikan dirinya serta
membedakannya dari makhluk lain.
C. Hakikat Pikiran
Pikiran berasal dari kata dasar
pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pikir artinya akal budi ;
ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira, kemudian mendapat sufiks –an
menjadi kata pikiran. Berpikir adalah aktivitas mental manusia. Dalam proses
berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab akibat, menganalisinya dari hal-hal
yang khusus atau atau kita menganalisisnya dari hal-hal yang khusus ke yang
umum. Berpikir berarti merangkai konsep-konsep. Pikiran adalah proses
pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain representasi utama. Proses
tersebut dapat dikategorikan sebagai proses perhitungan (computational
process).
Proses berpikir dilalui dengan tiga
langkah yaitu: pembentukan pikiran, pembentukan pendapat, penarikan
kesimpulan dan pembentukan keputusan. Pertama,
yaitu pada pembentukan pikiran. Pada pembentukan pikiran inilah manusia
menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek. Objek tersebut kita perhatikan
unsur-unsurnya satu demi satu. Misalnya mau membentuk pengertian manusia. Kita
akan menganalisis ciri-ciri manusia.
Kedua, yakni pada
pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang meletakkan
hubungan antara dua buah pengertian atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk
bahasa yang disebut kalimat. Pembentukan pendapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu pendapat afirmatif atau pendapat positif yaitu pendapat yang
mengiakan sesuatu hal, pendapat negatif yaitu pendapat yang tidak menyetujui,
dan pendapat modalitas yaitu pendapat yang memungkinkan sesuatu.
Ketiga, pada
penarikan kesimpulan. Pada penarikan kesimpulan ini melahirkan tiga macam
kesimpulan, yaitu keputusan induktif, deduktif, dan analogis (perbandingan).
Berpikir yang benar-benar berpikir
tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikirannya
hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas, pada aspek utilistik
instrumental dari realitas. Dalam terminologi sehari-hari dipakai istilah ratio
yang berasal dari kata latin reor yang berarti ‘menghitung’. Kadar
kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak mungkin terjangkau melalui
berpikir dengan menghitung.
Berpikir yang benar-benar berpikir
bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan
memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala hal dapat dibuat visual (yang
jelas tidak mungkin), terkandung persepsi dasar bahwa the real is the
physical. Hal yang lebih dalam dari realitas jasmani dengan sendirinya
tidak terjangkau.
Dalam gaya berpikir dangan
memvisualisasikan, realitas adalah yang dapat ditangkap oleh pancaindera
(Poespoprodjo, 1999:77). Yang lainnya adalah tidak ada. Copy theory of
reality (Camera theory of reality) pada hakikatnya adalah pernyataan bahwa
manusia adalah pasif; ‘objektif’ adalah pengingkaran kesertaan mutlak manusia
subjek dalam kegiatan tahu. Minatnya tidak pada realitas, tetapi pada pematokan
realitas, pada manipulasi ide-ide, pada kejelasan, tetapi sekedar kejelasan
jasmani-inderawi. Berpikir dengan membayangkan tidak mungkin bicara tentang
hakikat realitas. Pendek kata, lebih banyak lagi kebenaran yang tidak mungkin
diungkap melalui berpikir dengan membayangkan.
Berpikir yang benar-benar berpikir
tidak identik dengan berpikir menjelaskan, karena de facto berpikir
dengan menjelaskan sekadar gerak pikiran diantara batas-batas yang sudah
ditetapkan.rasionalitas, logika validasi metode-metodenya sudah pasti. Seluruh
usaha adalah sekedar menggiring pikiran ke jalur tersebut.
Berpikir dengan menghitung, berpikir
dengan memvisualisasikan, dan berpikir dengan menjelaskan adalah bentuk-bentuk
berpikir, tetapi sekedar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir.
Dalam praktek terbatas tertentu,
bentuk-bentuk tersebut tidak diragukan arti dan manfaatnya. Tetapi bilamana
bentuk-bentuk tersebut disetarakan, tidak dilampui bahkan diidentikkan dengan
berpikir yang benar-benar berpikir, maka distorsi kadar kebenaran yang lebih
kaya dari realitas merupakan bencana yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai
realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak
hal tidak akan tampak dan tampil dengan gaya-gaya berpikir secara menghitung,
secara memvisualisasikan, secara menjelaskan.
Arti realitas tidak mungkin dapat
dipikirkan dengan semestinya. Realitas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga
gaya pemikiran tersebut tidak memungkinkan untuk memikirkan pertanyaan tentang
hakikat realitas, hakikat manusia.
Jelas bahwa berpikir yang
benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-batas yang sebelumnya sudah
dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasai, memaksakan kekuasaan
(teori-teori, metode-metode, sistem-sistem dan sebagainya) pada realitas
Realitas bukan hasil pikiran, dan
bahasa bukan alat. Bahasa dan pikiran adalah ruang tempat terjadinya peristiwa
realitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap objektivistik dan
sikap mengambil jarak. Dan bahasa berkaitan erat dengan peristiwa penyampaian
arti. Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
D. Hubungan Bahasa dan Pikiran
Beberapa ahli mencoba memaparkan
bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi,
bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Berikut ini adalah beberapa ahli
tersebut.
1.
Teori
Sapir-Whorf
Dari banyak
tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa
paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai
peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran. Edward Sapir (1884-1939)
dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah linguis Amerika yang mengatakan bahwa
manusia hidup di dunia di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat
pengantar dalam kehidupan bermasyarakat (Chaer, 2009:52).
Sapir dan
Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk
dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan
dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
Hipotesis
pertama adalah lingusitic relativity
hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum
paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive).
Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa
tersebut.
Hipotesis
kedua adalah linguistics determinism
yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi
dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia
ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh
bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek
formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of
individual languages heavily constrain the conceptual representations available
to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu
representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain
habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep
Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi
manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan
oleh Whorf berikut ini: Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa
native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak
dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap
observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang
penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem
bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke
dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Pada hakikatnya
dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami
ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang
mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada
saat memproduksi atau memahami ujaran. Dengan kata lain, dalam penggunaan
bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode
menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep
menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bahasa
sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik
berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa,
yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang
dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana
ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara
tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa
yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan
berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Yeti
Mulyati, 2009:23).
Semua bahasa
yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Psikolinguistik
adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk
berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita
melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya
(Pateda, 1990:13). Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan
lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak
anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif.
Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman
manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia
berpikir dan berkata.
Perilaku
yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan
menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak
tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca
sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan
diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan ruang lingkup psikolinguistik yaitu penerolehan
bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses
pengkodean, hubungan antara bahasa dan perilaku manusia, hubungan antara
bahasa dengan otak. Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa,
hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa
terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan
decoding (penafsiran/pemaknaan kode) (Yeti Mulyati, 2009:15), hubungan antara
pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa.
Manusia
sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas
untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan
membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah
tadi.
Istilah cognitive
berasal dari cognition yang
padanannya knowing berarti
mengetahui.
Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan. Kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu
domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental
manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah,
pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.
Ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak)
dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Syah, 2004:22). Ranah
kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini
merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah
efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini (Syah, 2004:22)
mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat
berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami
dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan
seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri
sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang
segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun
kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004:52).
2.
Teori
Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von
Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran
manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat
ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak
dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya
itu. Kalau salah seorang dari anggota ini ingin mengubah pandangan hidupnya,
maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia
menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu (Chaer,
2009:52).
Mengenai
bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri
dari dua bagian.Bagian pertama berupa bunyi-bunyi dan bagian lainnya berupa
pikiran-pikiran yang belum terbentuk.Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform,
dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideenform atau innereform. Jadi, bahasa
menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran
(ideenform)
3.
Teori Jean
Piaget
Teori ini
mengungkapkan pendapat yang sebaliknya dengan teori Sapir-Whorf, dikemukakan
oleh Piaget sarjana Perancis, yaitu bahwa justru pikiranlah yang membentuk
bahasa, tanpa pikiran bahasa tidak akan ada (Chaer, 2009:54).
Jean Peaget
juga mengemukakan teori perkembangan kognisi yang menyatakan jika seorang mampu
menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan berbagai cara yang berlainan
sebelum anak itu dapat menggolongkan benda-benda tersebut dengan menggunakan
kata-kata (bahasa) yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan
kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Menurut
Piaget (dalam Chaer, 2009:54) ada dua hal penting mengenai hubungan bahasa
dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran), yaitu: Sumber kegiatan intelek
tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensorimotorik (2 tahun
pertama perkembangan kognisi), yakni satu system skema, dikembangkan secara
penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur
golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda (sebelum mendahului
gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan operasi
pemakaian kembali.
Pembentukan
pemikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang
bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih
umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya.
4.
Teori L.S
Vygotsky
Teori ini di
lontarkan oleh L.S Vygotsky, dan ia mengatakan bahwa terdapat satu tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan
pikiran sebalum adanya bahasa. Lalu, dua garis perkembangan ini saling bertemu
maka pikiran berbahasa dan bahasa berpikir terjadi secara serentak. Maksudnya,
pikiran dan bahasa pada mulanya berkembang secara terpisah, tidak saling
mempengaruhi satu sama lain, dengan kata lain, mula-mula pikiran berkembang
tanpa bahasa, begitu pula sebaliknya, bahasa pada mulanya berkembang tanpa
pikiran, kemudian pada tahap selanjutnya, keduanya bertemu, bekerjasama, dan
saling mempengaruhi (Chaer, 2009:55).. Begitulah, seseorang berpikir dengan
menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
5.
Teori Noam
Chomsky
Mengenai
hubungan bahasa dan pemikiran Noam Chomsky mengajukan teori klasik yang disebut
hipotesis nurani. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa dalam
adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang
kanak-kanak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir
dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa dalam yang bersifat
universal (Chaer, 2009:57).. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan
belajar atau pembelajaran, misalnya dengan aksi atau perilaku seperti yang
dikatakan Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang disebut kecerdasan.
Jadi, bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang berasingan dan mempunyai
otonomi masing-masing. Seorang anak yang dungu pun akan lancer berbahasa hampir
pada jangka waktu yang sama dengan seorang kanak-kanak yang normal.
Hipotesis nurani
berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam
setiap bahasa bersifat otonom, dan karena itu, tidak ada hubungannya dengan
system kognisi (pemikiran) pada umumnya termasuk kecerdasan.
6.
Teori Eric
Lenneberg
Berkenaan
dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Eric Lenneberg mengajukan teori
yang disebut teori kemampuan bahasa khusus. Teori ini secara kebetulan ada
kesamaannya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut
Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi
asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran (Chaer,
2009:58).. Kanak-kanak, menurut Lenneberg telah mempunyai biologi untuk
berbahasa pada waktu mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang
rendah dan kemampuan bercakap dan memahami kalimat mempunyai korelasi yang
rendah dengan IQ manusia. Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan
bahwa bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang
cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya kanak-kanak yang mempunyai
IQ 50 ketika dia berusia 12 tahun dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun,
juga mampu menguasai bahasa dengan cukup baik, kecuali dengan sesekali terjadi
kesalahan ucapan dan kesalahan tatabahasa. Oleh karena itu, menurut Lenneberg
adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan pula terjadi kerusakan
bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan
kemampuan kognitif yang rendah.
7.
Teori Bruner
Berkenaan
dengan masalah bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang
disebutnya teori instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada
manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain,
bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir secara sistematis
(Chaer, 2009:59). Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari
sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat
serupa. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa maka
keduanya bisa saling membantu. Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat
untuk berlakunya aksi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan hubungan
antara bahasa dan pikiran, yaitu sebagai berikut:
a.
Bahasa
Memengaruhi Pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi
pikirannya terhadap realitas. Pikiran manusia dapat terkondisiikan oleh kata
yang manusia gunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benjamin Whorf
dan gurunya, Edward Sapir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang
mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa
kata dalam menjelaskan realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai
pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b.
Pikiran
Memengaruhi Bahasa
Ada kemungkinan struktur bahasa
dipengaruhi oleh pikiran. Sekitar 2.500 tahun yang lalu Aristoteles berargumen
bahwa kategori pikiran menentukan kategori bahasa. Banyak alasan yang
memperkuat argumen tersebut, walaupun Aristoteles sendiri tidak bisa
memperlihatkan alasan-alasan tersebut. Adapun alasan yang dapat dikemukakan
antara lain, kemampuan manusia berpikir muncul lebih awal ditinjau dari aspek
evolusi dan berlangsung belakangan dari aspek perkembangannya dibandingkan
kemampuan menggunakan bahasa.
Tokoh psikologi kognitif yang tak
asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget menyatakan bahwa ada keterkaitan antara
pikiran dan bahasa. Bahasa adalah representasi dari pikiran. Melalui observasi
yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia
melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan memengaruhi bahasa yang
digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang
digunakannya. Sebelum anak-anak menggunakan bahasanya secara efektif, anak-anak
memperlihatkan kemampuan kognitif yang cukup berarti dan beragam.
Menurut Pieget, ada dua pikiran,
yaitu pikiran terarah (directed) atau
intelligent dan pikiran tidak terarah
atau autistik (autictic). Pikiran
yang terarah adalah pikiran yang menghasilkan tindakan atau ujaran yang dapat
dipertanggungjawabkan dan memiliki landasan kuat, sedangkan pikiran tidak
terarah umumnya pikiran yang sering menimbulkan kekeliruan atau dampak yang
tidak terduga. Mungkin itu sebabnya terjadi tergelincir lidah.
c.
Bahasa dan
Pikiran Saling Memengaruhi
Hubungan timbal balik antara
kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik
kebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori. Piaget
mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada tahap permulaan berkembang secara
terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang
tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap
berikutnya, keduanya bertemu dan saling bekerja sama, serta saling
mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak
diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Leo dan Syamsul Sodiq. 2000. Psikolingustik. Jakarta: Universitas
Terbuka
Muhibin, Syah. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Grafika
Persada
Mulyadi. 2009. Introduction to Linguistic. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press
Mulyati, Yeti. 2009. Keterampilan Berbahasa Indonesia.
Jakarta: Universitas Terbuka
Pateda, Mansyur. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Ende
Flores: Nusa Indah
Pusporodjo. 1999. Logika Scientifika Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka
Grafika
Komentar
Posting Komentar