Kritik Sastra
WAYANG KAMPUNG SEBELAH AJANG MENETRALKAN
SUARA PARPOL
Noor Siti Khoiriyah/13410033
Ki Jliteng
Suparman merupakan dalang dalam pertunjukkan wayang kampung sebelah. Dalang
yang lahir pada tahun 1966 ini sudah
mengemari kesenian wayang sejak remaja dan pernah menyabet juara II lomba
dalang remaja se-Kabupaten Wonogiri tahun 1979, serta masuk sepuluh besar
dalang unggulan pada Festifal Greget Dalang se-Indonesia ini beranggapan bahwa
dalang tak hanya sekadar penghibur saja, akan tetapi dalang menempati posisi
strategis sebagai agen pencerahan masyarakat atas segala problematika kekinian.
Ia juga berangapan bahwa sudah saatnya seni pewayangan harus keluar dari pakem
karena dihadapkan oleh sejumlah realitas dan dinamika zaman. Untuk itu berkeinginan
ambil bagian dalam menggelisahkan problematika bangsa-negara dengan bergabung
pada komunitas Pergerakan Kebangsaan serta menuangkan kegelisahanya kedalam
sebuah cerita pewayangan.
Salah satu
cerita pewayangan yang merupakan perwujudan dari kegelisahanya terhadap problematika
bangsa Indonesia adalah “Mawas Diri Menangkar Berani” yang berkisah menggenai
kondisi negara yang kurang tegas dalam menyikapi tindak kecurangan dalam ajang
pemiliham umum dan kondisi bangsa yang kurang mawas diri. Untuk itu dalam
pementasan “Mawas Diri Menangkar Berani” Ki Jliteng Suparman mencoba memberikan
kritik sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat supaya cermat dalam
memilih sosok pemimpin. Bukan hanya sekadar memilih berdasarkan banyaknya jumlah
nomina uang yang mereka pilih, namun realitanya kursi politik dapat diperjual
belikan dan ditaklukan oleh mereka yang beruang saja. Untuk itu Ki Jliteng
Suparman mencoba menetralkan suara ketika pemilihan umum supaya tidak
terpengaruh akan politik uang yang telah membudaya pada bangsa Indonesia.
Ketika awal
cerita ketika babak pemilu sudah mulai digambarkan bahwa salah seorang petugas
Tempat Pemilihan Suara (TPS) saja sudah melakukan kecurangan dengan berafiliasi
kepada salah satu kontestan yaitu Pak Somad, hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Mbah bagaimana jika orang-orang
tahu tentang hal ini? Pasti masyarakat akan marah Mbah?.”(Percakapan Parjo kepada
Eyang Sidik Wacono).
Kutipan
tersebut membuktikan sekaligus menggambarkan bahwa petugas yang seharusnya
mampu berpihak netral justru memihak salah satu kandidat kepala desa. Itu
berarti politik uang tidak memandang bulu, tidak hanya terjadi pada
kepemerintahan pusat saja, tetapi pemerintah desa, bahkan masyarakatpun sudah
mengenal politik uang karena alasan kebutuhan dan kepentingan masing-masing
individu.
Selanjutnya dengan
pola sebab akibat kemudian Ki Jliteng Suparman mencoba menggambarkan kondisi
masyarakat yang lainya. Sebab ke dua, di mana korupsi juga tidak hanya
dilakukan oleh pejabat tinggi tetapi juga pejabat biasa. Hal ini dapat dilihat
pada saat babak pemilu ketika pembagian komisi dari Pak Somad kepada tim
suksesnya. Dijelaskan bahwa Eyang Sidik Wacono memperoleh uang sejumlah
Rp.3.000.000,- namun disampaikan kepada Parjo bahwa ia hanya mendapat Rp.
1.000.000,- untuk dibagi bertiga. Sedangkan Parjo menyampaikan kepada Sodrun
Bahwa mereka hanya mendapat uang sebesar Rp. 300.000,- saja untuk dibagi
bertiga. Dan lagi-lagi yang menjadi alasan permasalahan korupsi juga karena
kebutuhan dan kepentingan tiap individu.
Setelah itu
digambarkan sebab-akibat dari politik uang dan korupsi yang terjadi. Mulai dari
protes atau ketidak puasan terhadap keputusan yang menyatakan bahwa Pak Somad
lah yang memenangkan pemilihan kepala desa pada babak rencana protes. Kemudian akibat
kedua adalah kerusuhan yang terjadi akibat kecurangan dan ketidak puasan
terhadap hasil pemilihan umum ketika Pak Somad mengadakan tasyakuran pada babak
kerusuhan.
Dari kejadian
sebab akibat tersebutlah kemudian Ki Jliteng Suparman mencoba membuka mata hati
atau memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai problematika bangsa yang
terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam babak mawas diri. Dimana mulai digambarkan
bagaimana setiap orang selalu mencari aman atau pembenaran atas dirinya sendiri
dan kurang bisa memegang sebuah amanat rakyat dengan baik. Adanya kepentingan
individu dari pada kepentingan kelompok atau kepentingan rakyat. Termasuk di
dalamnya menyingung bahwa pemimpin yang terpilih karena uang bisa jadi tidak
berkompeten dan berkwalitas dalam memimpin.
Berikutnya dalam
babak mawas diri tersebut kemudian diselipkan sebuah nilai dan amanat untuk
kembali menetralkan suara ketika pemilihan umum. Mencoba mengingatkan akan
dialog-dialog yang dilontarkan oleh Pak Somad terutama dalam menanggapi
kerusuhan. Dalam sosok Pak Somad tersebut tidak memiliki cerminan seorang
pemimin yang bijaksana, berwibawa, berkompeten, berwawasan maupun mampu menjadi
suri tauladan.
Oleh karena
itu sudah seyogyanya masyarakat mulai membuka mata mengenai problematika yang
terjadi pada bangsa ini. Hal ini dimulai dari diri sendiri. Mulai menilai
kekurangan dan kelebihan kita. Sudahkan kita berusaha mengubah budaya politik
uang dalam bangsa ini?. Kemudian mulai memberanikan diri menyampaikan aspirasi
mengenai kebenaran untuk sebuah perubahan. Perubahan yang akan mengahatarkan
bangsa ini pada hakikat demokrasi yang sebenarnya. Selanjutnya keberanian untuk
mengambil resiko, salah satu caranya adalah dengan memilih pemimpin yang mau
mengambil resiko dan tanggung jawab yang besar. Bukan sekadar memilih dengan
melihat besarnya nomina, akan tetapi besarnya kompeten dan kwalitas dari calon
pemimpin. Dan yang terakhir adalah berani mengalahkan ego sendiri untuk
mementingkan kepentingan individu dibandingkan kepentingan kelompok, bangsa,
dan negara. Jadi
Daftar Pustaka
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung.
Angkasa.
Komentar
Posting Komentar